“IPA, IPS, atau Bahasa?”: Menyambut Kembali Penjurusan di SMA

Ketika pemerintah mengumumkan bahwa sistem penjurusan akan kembali diberlakukan di jenjang SMA—yakni IPA, IPS, dan Bahasa—reaksi publik cukup beragam. Sebagian merasa ini adalah langkah mundur dari semangat “merdeka belajar,” sementara sebagian lain justru menyambutnya sebagai bentuk kejelasan arah bagi siswa.
Tapi, daripada langsung pro atau kontra, kenapa kita tidak mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lebih jernih?
Apa untungnya penjurusan untuk masa depan siswa?
1. Fokus dan Spesialisasi yang Terarah
Kurikulum fleksibel yang pernah diuji coba memang memberikan ruang eksplorasi yang luas. Namun dalam praktiknya, banyak siswa justru merasa bingung menentukan mata pelajaran mana yang sesuai minat dan bakat mereka. Penjurusan bisa menjadi kompas akademik awal—mengarahkan siswa untuk memperdalam kompetensi tertentu yang benar-benar mereka minati.
Contohnya, siswa jurusan IPA bisa lebih fokus pada eksperimen, logika ilmiah, dan pemrograman dasar—modal penting untuk karier di bidang sains, teknik, atau kesehatan. Sementara itu, IPS membekali siswa dengan kemampuan analisis sosial dan ekonomi yang cocok untuk masa depan sebagai analis kebijakan, pengusaha, atau akademisi sosial. Jurusan Bahasa, yang sering dipandang sebelah mata di SMA, justru membuka jalan ke dunia kerja berbasis komunikasi global, literasi, dan industri kreatif seperti subtitling, content creation, hingga AI linguistik.
Intinya? Belajar lebih mendalam jauh lebih efektif daripada belajar terlalu banyak namun dangkal.
2. Identitas Akademik Membentuk Kepercayaan Diri
Secara psikologis, masa SMA adalah saat di mana remaja mulai mencari jati diri—termasuk dalam konteks akademik. Penjurusan, jika dilakukan dengan tepat, bisa membantu siswa mengembangkan identitas belajar yang kuat. Ketika seseorang merasa “gue anak IPS banget, deh,” itu bukan sekadar label. Itu bisa menjadi sumber rasa percaya diri, motivasi intrinsik, dan semangat untuk terus belajar lebih dalam.
Namun tentu saja, pendampingan tetap sangat penting. Jangan sampai siswa salah pilih jurusan hanya karena ikut-ikutan teman atau tekanan sosial. Di sinilah peran guru BK, tes minat bakat, dan diskusi bersama orang tua sangat dibutuhkan. Kita perlu menciptakan ruang di mana siswa benar-benar bisa reflektif terhadap pilihan mereka.
3. Teknologi sebagai Jembatan Antar-Jurusan
Di zaman yang serba digital, batas antarbidang sebenarnya makin cair. IPA, IPS, dan Bahasa bukan sekat permanen. Justru dengan teknologi, setiap jurusan bisa bersentuhan dengan bidang lain.
Siswa IPA bisa belajar menggunakan Arduino untuk merancang robot, siswa IPS bisa riset pasar pakai data dari Google Trends, sementara siswa Bahasa bisa jadi penerjemah AI, voice-over creator, atau penulis konten lintas platform.
Dan yang paling menarik: di dunia kerja, kita sekarang dituntut untuk spesialis, tapi juga mampu berkolaborasi lintas disiplin. Penjurusan, jika dibarengi dengan fleksibilitas dan proyek kolaboratif, akan sangat sesuai dengan model ini.
Apa Yang Harus Diwaspadai?
Kekakuan dan Stigma Jurusan
Mari kita jujur. Kita masih sering mendengar kalimat seperti “anak IPA itu lebih pintar” atau “kalau gak bisa IPA, ya IPS aja.” Ini narasi lama yang perlu kita ubah. Perlu diingatbahwa setiap jurusan punya tantangan dan keunggulan masing-masing.
Justru yang perlu dijaga adalah agar sistem penjurusan ini tidak menjadi sistem pengotakan, tapi sistem pembinaan potensi. Siswa masih harus diberi akses untuk mengenal lintas jurusan melalui projek, ekstrakurikuler, bahkan pembelajaran daring.
Mari kita tanamkan pemikiran bahwa penjurusan adalah alat, bukan tujuan.
Kita tidak sedang bicara soal IPA lebih baik dari IPS, atau Bahasa kurang bergengsi. Kita sedang bicara tentang bagaimana mengarahkan siswa pada keunggulannya masing-masing. Sistem penjurusan, jika dikemas dengan pendekatan baru—adaptif, inklusif, berbasis minat dan teknologi—bisa menjadi jembatan untuk membentuk generasi yang tidak cuma tahu banyak, tapi ahli dan percaya diri di bidang yang mereka pilih.
Jadi, penting untuk tidak sekedar bertanya “kenapa kembali ke sistem lama?”,
pertanyaan yang lebih mendesak adalah:
bagaimana kita bisa menjalankan sistem penjurusan ini dengan cara yang lebih cerdas, fleksibel, dan relevan dengan masa depan?
Karena pada akhirnya, dunia masa depan tidak butuh siswa yang tahu segalanya, tapi siswa yang tahu siapa dirinya, tahu apa keahliannya, dan tahu bagaimana bekerjasama dengan orang lain.