Ujian Nasional dalam Kurikulum Indonesia
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, penilaian terhadap capaian siswa mengalami banyak perubahan seiring dengan pergantian kurikulum.
Salah satu periode penting adalah saat diterapkannya sistem EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir), EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), NEM (Nilai Ebtanas Murni), dan DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni). Sistem ini berlangsung dalam beberapa dekade sebelum digantikan oleh evaluasi yang lebih modern, seperti Ujian Nasional (UN) dan Asesmen Nasional (AN).
Pada Kurikulum 1975, EBTA dan EBTANAS digunakan sebagai evaluasi tahap akhir bagi siswa di jenjang pendidikan tertentu, seperti SD, SMP, dan SMA. NEM adalah hasil ujian EBTANAS yang digunakan sebagai syarat masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Sistem ini bertujuan memberikan standar kelulusan yang seragam, meskipun terdapat kekurangan berupa tekanan pada nilai akhir yang berfokus pada hasil ujian.
Sistem EBTA dan EBTANAS tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984. Nilai NEM menjadi acuan penting untuk menentukan kelulusan dan kelanjutan pendidikan siswa. Kurikulum ini juga dikenal dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), yang mencoba meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran, tetapi tetap mempertahankan penilaian akhir berbasis ujian nasional.
EBTA dan EBTANAS tetap menjadi bagian penting dalam Kurikulum 1994. Hasil ujian disajikan dalam bentuk NEM dan dicatat dalam DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) sebagai dokumentasi resmi nilai siswa. Kurikulum ini mencoba menyeimbangkan antara pelajaran umum dan muatan lokal, meskipun tekanan pada nilai ujian masih cukup besar.
Implementasi di lapangan menemukan bahwa kelebihan dan kelemahan EBTA, EBTANAS, NEM, dan DANEM sebagai berikut:
Sistem |
Kelebihan |
Kekurangan |
|
||
EBTA & EBTANAS |
Standar kelulusan nasional yang merata di seluruh Indonesia. |
Fokus berlebihan pada ujian akhir, cenderung mengabaikan proses belajar. |
NEM & DANEM |
Memberikan patokan nilai kelulusan yang jelas dan seragam. |
Terlalu menekankan nilai akademis; tekanan tinggi pada siswa untuk meraih nilai tinggi. |
Perubahan Penilaian Kelulusan Siswa*
Sistem penilaian melalui EBTA, EBTANAS, NEM, dan DANEM perlahan mulai berubah sejak penerapan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK) dan akhirnya digantikan oleh Kurikulum 2013 (K13) yang menekankan penilaian lebih komprehensif.
Dalam Kurikulum Merdeka yang mulai diperkenalkan pada tahun 2022, Asesmen Nasional (AN) digunakan untuk menggantikan peran UN dan menilai aspek literasi, numerasi, serta survei karakter tanpa menjadi penentu kelulusan.
Meskipun AN membawa pembaruan signifikan dalam penilaian pendidikan, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan, seperti ketimpangan akses infrastruktur, kesenjangan mutu pendidikan antar wilayah, dan kebutuhan pelatihan guru dan siswa. Perubahan paradigma dari fokus pada hasil ujian menjadi evaluasi proses pembelajaran juga menjadi tantangan tersendiri.
Dengan bergantinya pemerintahan, dipecahnya kementerian terkait Pendidikan dan tentunya adanya Menteri-menteri baru, masyarakat Kembali menyorot tentang perlu tidaknya UN (Ujian Nasional). Penyelenggaraan kembali UN) di Indonesia menjadi perdebatan yang kompleks.
Pada dasarnya, kebutuhan akan ujian nasional bergantung pada tujuan dan peran yang ingin diemban oleh sistem pendidikan nasional. Jika UN diadakan kembali, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah dalam implementasinya.
--- Kapan UN diperlukan? ---
1. Untuk Standarisasi Kompetensi
UN dapat berguna jika digunakan sebagai instrumen untuk mengetahui pencapaian kompetensi siswa di berbagai wilayah Indonesia secara nasional.
Tanpa adanya standarisasi nasional, lulusan kita cenderung dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain yang menjadi tujuan untuk studi lanjut. Salah satu masalah yang muncul adalah persepsi menurunnya standar pendidikan dan kurangnya penilaian terstandar yang sebelumnya dipenuhi oleh UN. Ini memengaruhi universitas-universitas luar negeri dalam menilai kualitas lulusan Indonesia.
Contohnya, lulusan SMA dari Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri telah menghadapi tantangan baru sejak penghapusan Ujian Nasional (UN). Beberapa universitas di Belanda, seperti University of Twente, telah mengubah kebijakan penerimaan karena tidak adanya standar ujian nasional. Akibatnya, ijazah lulusan Indonesia dianggap setara dengan jenjang pendidikan yang lebih rendah, seperti program pra-universitas (VWO), dan pelamar seringkali diarahkan ke institusi dengan fokus keterampilan terapan. Hal serupa terjadi di Jerman, di mana proses seleksi untuk Studienkolleg menjadi lebih ketat bagi lulusan Indonesia.
2. Sebagai Alat Evaluasi
Ujian nasional dapat menjadi sarana untuk mengevaluasi efektivitas kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Dengan hasil ujian nasional, pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam implementasi kurikulum di seluruh wilayah Indonesia.
Beberapa hal yang dapat dievaluasi melalui UN antara lain:
a. Kesesuaian Materi Pembelajaran
Hasil ujian mencerminkan sejauh mana materi yang diajarkan sesuai dengan kompetensi dasar yang diharapkan dari kurikulum. Jika hasil menunjukkan ketimpangan, evaluasi terhadap materi dan metode pembelajaran dapat dilakukan.
b. Kualitas Pengajaran
Jika hasil UN menunjukkan perbedaan signifikan antar wilayah, itu bisa menjadi indikator adanya kesenjangan kualitas pengajaran. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan perbaikan yang lebih terarah, seperti pelatihan guru atau distribusi sumber belajar.
c. Pencapaian Kompetensi Siswa
UN juga menilai apakah tujuan pembelajaran, baik dalam aspek kognitif, psikomotorik, maupun afektif, telah tercapai sesuai dengan tujuan kurikulum.
3. Pemetaan Kualitas Pendidikan
UN bisa membantu pemetaan kualitas pendidikan di berbagai daerah, yang dapat digunakan untuk menyusun kebijakan yang lebih tepat.
Data yang dihasilkan dari UN mencakup hasil tes berdasarkan mata pelajaran utama, yang dapat dibandingkan antar sekolah, kabupaten, atau provinsi.
Dengan demikian, pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan dapat mengidentifikasi daerah-daerah yang memiliki prestasi tinggi maupun yang masih tertinggal.
Manfaat pemetaan ini meliputi:
a. Identifikasi Kesenjangan Pendidik
UN memungkinkan deteksi daerah yang memerlukan intervensi khusus dalam hal sumber daya, pelatihan guru, atau metode pengajaran. Ini mendorong pemerataan kualitas pendidikan.
b. Perumusan Kebijakan Berbasis Data
Dengan mengetahui area yang lemah, pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti distribusi anggaran yang lebih adil dan program pembinaan khusus.
c. Pemantauan dan Evaluasi Program
UN berfungsi sebagai alat untuk memantau keberhasilan berbagai program pendidikan yang diterapkan, sehingga efektivitasnya dapat diukur dengan membandingkan hasil antar periode.
Namun, agar fungsi ini berjalan optimal, perlu memastikan bahwa UN dirancang secara adil dan mencerminkan kondisi nyata dari proses belajar mengajar, bukan hanya menguji hafalan atau nilai akademis belaka. Hal ini penting untuk menghindari distorsi dalam penilaian kualitas pendidikan yang sebenarnya.
--- Kapan UN tidak diperlukan? ---
1. Jika Fokus Terlalu Berat pada Nilai
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa terlalu fokus pada hasil UN sering kali mengakibatkan praktik seperti belajar untuk lulus ujian (teaching to the test), yang mengabaikan aspek pembelajaran yang lebih mendalam dan kreatif.
2. Potensi Stress Berlebih pada Siswa
UN bisa menjadi beban psikologis yang berat bagi siswa jika dijadikan satu-satunya penentu kelulusan.
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar UN tidak menimbulkan masalah.
Syarat-syaratnya antara lain:
1. UN Bukan Penentu Tunggal Kelulusan
Ujian Nasional sebaiknya tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Kelulusan bisa berdasarkan gabungan hasil UN dengan penilaian lain, seperti proyek, nilai harian, portofolio, dan penilaian guru.
2. Mengurangi Tekanan Akademik
Sistem penilaian berbasis UN harus dirancang agar tidak menimbulkan tekanan berlebihan. Ujian harus dirancang untuk mengukur kemampuan kritis, analitis, dan pemecahan masalah, bukan sekadar hafalan.
3. Persiapan Infrastruktur yang Merata
Untuk menghindari ketimpangan, pemerintah perlu memastikan akses yang adil ke sarana dan prasarana pendidikan, termasuk fasilitas ujian online atau digital.
4. Pelatihan Guru yang Memadai
Guru harus dilatih untuk tidak hanya mempersiapkan siswa menghadapi ujian, tetapi juga untuk memberikan pembelajaran yang holistik dan berorientasi pada pemahaman, keterampilan hidup, dan pembentukan karakter.
5. Keseimbangan Penilaian Kompetensi dan Karakter
UN harus mengintegrasikan penilaian keterampilan non-akademik seperti keterampilan sosial, etika, dan karakter, selain aspek akademis. Ini akan membantu menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga berbudi pekerti.
6. Fokus pada Perbaikan Mutu Pendidikan
Hasil UN bukan hanya untuk menilai siswa.
Hasil UN juga digunakan sebagai data untuk merumuskan kebijakan pendidikan, seperti peningkatan kurikulum, perbaikan metode pembelajaran, dan pelatihan guru.
7. Asesmen Berbasis Kompetensi dan Praktis
Ujian nasional harus dikembangkan menjadi asesmen berbasis kompetensi yang menilai pemahaman konsep serta penerapan praktis dalam kehidupan nyata, bukan sekadar ujian pilihan ganda.
Dari paparan di atas, bisa ditarik simpulan bahwa UN (Ujian Nasional) dapat diadakan lagi jika tujuannya adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan pemerataan, bukan sekadar alat untuk menentukan kelulusan.
Dengan menerapkan berbagai syarat dan prinsip yang disebutkan di atas, pelaksanaan UN diharapkan dapat memberikan manfaat positif tanpa menimbulkan tekanan berlebihan bagi siswa maupun tenaga pendidik.